Dylan Aprialdo: Menangkap Kejujuran di Jalanan

09.10


Jalanan adalah keseharian paling jujur yang punya banyak bentuk dan Dylan Aprialdo Rachman menangkap kejujuran-kejujuran itu lewat mata lensanya. Layaknya kejujuran yang memang nggak kehitung harganya bahkan sekarang susah sekali ditemui, Dylan pun harus menghadapi ‘kerikil-kerikil’ yang walaupun kecil tapi sangat mengganggu di dalam sepatunya setiap dia menangkap kejujuran-kejujuran yang ada di jalanan.
Ikuti obrolan saya bareng cowok kelahiran Jakarta, 31 Maret 1994 ini di Saturday Corner minggu perdana kali ini, yuk!

Dylannnn, sekarang manggil Dylan berasa manggil nama karakter yang dibikin Pidi Baiq di dunia nyata, kalau Dilan-nya Pidi Baiq produktif berpuisi, kalau Dylan yang ini produktif ngapain aja sih belakangan ini?
Ya, perasaan sekarang Dilan nya Pidi Baiq lagi ngehits banget, ya. Sepertinya dia sosok cowok idaman bagi para pembacanya yang perempuan. Hope I can be like him hahaha. Kalo Dylan yang ini produktifnya biasa, status mahasiswa tingkat akhir resmi dijabat, jadi harus menyelesaikan laporan magang setelah jadi reporter di KOMPAS.com juga dan persiapan skripsi, lagi baca buku tokoh pers Jakob Oetama. Produktif hobi juga jalan dong, memotret. Itu sih yang lagi dijalanin belakangan ini. Sesibuk apapun sama tugas, motret tetap jalan.

Kalo musik kan punya genre. Nah kalo buat motret sendiri, Dylan itu punya genre juga nggak sih? Soalnya kalo ngeliat feed Instagram Dylan tuh berasa Instagramnya @humansofnewyork-nya Malang deh.
Wah, ini yang repot ya karna harus fokus ke satu genre kayak penyanyi harus punya genre sendiri, kalo enggak, ya enggak ada ciri khasnya. Kalo aku, genre fotografinya adalah Street Photography (Fotografi Jalanan), jadi, ya, kerjaannya blusukan ke jalan memotret kehidupan sehari-hari masyarakat, tapi kadang concern juga ke Street Fashion. Wah, kalo @humansofnewyork-nya Malang sepertinya belum pantas, tapi pengen sih mengikuti, itu cita-cita banget, tapi tantangannya ya itu kita harus sering berdekatan dengan objeknya dan mendengar kisah mereka. Kemudian, kita tulis dan kita post foto sama tulisannya di Instagram, itu challenge banget. Kalau berdekatan dengan objek, otomatis foto kita jadi Human Interest, jauh lebih bermakna lagi dibanding Street Photography.

 

Baru tahu kalau genre Human Interest punya makna sedalam itu. Oh, ya, selama ini ada nggak tantangan dari blusukan untuk mendapatkan foto yang bisa 'bercerita’ ke penikmat hasil foto Dylan itu? 
Iya, Human Interest lebih bermakna dibandingkan Street Photography. Tantangan ya pasti ada sih. Ada 2 cara di Street Photography; kita memotret dari kejauhan atau mendekati objek. Tantangannya kalau memotret dari kejauhan, kita harus enggak ketahuan, supaya objek foto nggak ngeh kamera dan kita sebagai fotografer juga bisa menjaga objek dan lingkungannya tetap bertindak apa adanya, karena itu yang dikejar dari Street Photography. "Potret Jalanan adalah potret yang jujur dan apa adanya," seperti yang dikatakan oleh salah satu seniorku.
Ada pengalaman yang memorable nggak waktu motret di jalanan?
Hampir semua pengalaman memotretku di jalanan itu memorable, seperti motret ibu-ibu yang sedang melindungi kepala anaknya dari panas, orang yang istirahat karena kelelahan di Mesjid Istiqlal, orang yang tidur di masjid sendirian. Yang penting peka terhadap situasi di sekeliling, pasti kita bisa dapat momen bagus. Yang paling memorable sih, main kucing-kucingan sama satpam di stasiun Malang Kota Lama. Waktu itu aku dan dua teman Komunitas Hunting Street di sepanjang rel dekat stasiun Kota Lama karena disitu juga dekat dengan pemukiman. Mungkin karena kita ada di daerah rel, dari kejauhan dua satpam sepertinya udah waspada mau mengejar kita. Tapi kita sadar diri, begitu satpam melihat dan jalan ke arah kita, ya kita jalan cepat, trus ngumpet. Kalau satpamnya udah enggak ada, kita keluar lagi.
Pernah juga motret di Stasiun Kota, ditegur sama satpam. Katanya, "Punya izin nggak untuk foto di sini?", aku balik tanya, "Loh, memangnya harus minta izin, ya? Di sini dilarang motret, mana tanda larangannya? Yang saya lihat larangan membawa binatang peliharaan, larangan merokok, larangan membawa senjata tajam, tapi enggak ada tanda larangan memotret. Ini kan ruang publik, kenapa saya harus minta izin?" Pak satpamnya justru menegaskan, "Iya, pokoknya harus izin dulu." Sekarang banyak petugas keamanan yang bertingkah seperti itu dan alasannya enggak jelas, terkadang izin itu bukan dalam artian yang sebenarnya, tapi izin maksudnya ngasih sogokan. Bagi fotografer jalanan, itu yang paling menyebalkan.

Mesti berani 'nemplok' sama banyak situasi, orang, jalanan dan seisinya ya kegiatanmu ini.
Eh, nemplok? Cicak dong haha. Kalau mendekati objek itu tantangan juga karena kita harus siap-siap menerima jawaban "Iya" atau "Tidak" untuk izin difoto. Deg-degannya sama seperti nembak gebetan. Tapi, biasanya yang aku lakukan ya basa-basi aja dulu, kenalan sama orang yang mau difoto atau ngobrol-ngobrol sedikit, nah kalau sudah nyaman, minta izin buat difoto biasanya mau. Kalau enggak, ya tetap senyum dan bilang terima kasih.
Cerita pengalaman magang di Kompas juga dong, penasaran nih. Di sana motret sambil nulis berita juga, nggak?
Wah, kalau pengalaman di KOMPAS enggak pernah memotret, sih. Di sana, status aku sebagai reporter bukan fotografer. Jadi, fokus mencari bahan dan nulis berita. Magang di KOMPAS pastinya banyak pengalamannya, ya. Awalnya deg-degan waktu diantar ke ruang redaksi, karena pernah mendengar kalau orang-orang redaksi tuh galak-galak) tapi, ketika sudah sampai, memang terlihat orang-orang sedang serius semua dan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tapi, itu memang sudah style-nya KOMPAS buat menyajikan berita yang berkualitas. Aku dibimbing oleh Mas Soni yang nama lengkapnya Laksono Hari Wiwoho. Beliau editor sekaligus redaktur rubrik nasional. Mas Soni yang membimbing aku selama 3 bulan magang di KOMPAS, beliau yang mengajari aku bagaimana membuat berita yang bagus, menarik, dan logis. Di awal magang, artikelku diedit habis-habisan oleh dia, tapi, semakin ke hari berikutnya, makin sedikit. Semuanya enggak terlepas dari peran Mas Soni. Selain itu, menjadi wartawan KOMPAS wawasannya harus luas, kita harus tahu isu A, isu B, isu C,  untuk itu harus banyak baca, kemampuan analisisnya harus tajam, peka dengan situasi di sekeliling, dan harus peduli dengan detail fakta sekecil apapun enggak boleh luput. Selama magang seru banget, aku bisa tahu bagaimana kerja sebagai wartawan, aku bisa bertemu dan mengobrol dengan tokoh-tokoh terkenal seperti Komjen Pol Budi Waseso, Menteri Susi Pudjiastuti, Menteri Rizal Ramli, Pimpinan DPR/MPR, Pimpinan KPK, Jenderal Badrodin Haiti, Anggota DPR kayak Tantowi Yahya, Ruhut Sitompul, Budiman Sudjatmiko.
Yang paling memorable, salah satunya adalah ketika liputan ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Aku ditugasin untuk meliput seminar, eh waktu jam istirahat, ternyata di luar ruangan itu sedang ada kegiatan Kompetisi Ilmiah yang diikuti anak-anak SMP dan SMA. Tapi, begitu diperhatikan, ternyata ada sepasang peserta dua siswi SD. Temuannya juga menarik dari barang bekas, sederhana namun sangat berguna bagi orang banyak (bisa dibaca artikelku dengan judul “Berbekal Barang Bekas, Dua Siswi SD ini jadi peserta termuda Kompetisi ilmiah LIPI” disini). Aku memutuskan untuk menulis berita tambahan karena itu menarik, aku ingin menceritakan kisah mereka yang bisa mengalahkan 400 proposal penelitian saat babak kualifikasi yang mayoritas diikuti oleh anak SMP dan SMA. Aku jadi bertanya-tanya tentang peran orang tua mereka, kok bisa anaknya dapat ide seperti itu. Ternyata, beritaku dapat banyak respon positif dari pembaca.
Nah! Btw, Dyl, kalau dengar kata 'Sabtu', apa sih yang ada di pikiranmu?
Sabtu itu hari untuk memotret. Seriously. Dengan ada hari Sabtu, bisa jadi penutup kejenuhan kita akan riuhnya aktivitas sehari-hari yang telah terlewati dari Senin sampai Jumat. Di hari Sabtu, aku pasti blusukan jalan-jalan di Kota Malang, seperti menikmati libur yang pendek, menghilangkan rasa jenuh, menikmati momen-momen kecil yang lewat di mata kita, bising suara kendaraan, sejuknya udara pagi, sekumpulan anak kecil bercanda, couple (aku iri karena single), aktivitas orang lalu-lalang di pasar, tukang becak atau sekadar istirahat di bangku taman sambil minum sekaleng nescafe dan tango sebelum lanjut memotret, nikmatnya momen-momen seperti itu. Tapi, biasanya untuk memotret di hari Sabtu, aku harus menghadapai tantangan terbesar, seperti ngulet di kasur. Mager banget untuk bangun dan mandi hahaha. Sabtu juga jadi ajang bersyukur dan berdoa buat apa yang sudah aku gapai dan aku usahakan selama Senin sampai Jumat.
Oke, deh! Terima kasih, Dylan! Semoga sukses terus dan terima kasih sudah mau dirusuhin. Oh ya, ada pesan nggak untuk pembaca Saturday Corner?
Bersyukurlah sama hal-hal kecil yang kamu lihat atau yang kamu terima, sekecil apapun itu tentunya bermakna bagi dirimu sendiri, sama halnya dengan momen-momen kecil yang berserakan di jalanan dan dicari oleh para fotografer jalanan. Mereka mencari momen-momen kecil itu untuk membahagiakan diri serta sebagai cara untuk bersyukur. Untuk pembaca Saturday Corner, manfaatkanlah hari Sabtu dengan hal-hal yang menyenangkan, lakukan yang kamu suka yang enggak sempat kamu lakukan di weekdays (dalam arti positif, ya). Pasti akan membuat kalian bahagia. Anyway, thanks buat Yola, salah satu perusuhnya Saturday Corner sudah mau mengundang aku untuk ikut berbagi cerita tentang hobi dan kegiatanku. Berceloteh ria namun, tetap bermakna. Thank you.

Banyak fotografer jalanan di luar sana, namun saya bersyukur mendapatkan kesempatan menikmati potret salah satu dari mereka yang juga seorang teman bernama Dylan. Ia rutin menangkap kejujuran-kejujuran yang ia temui di jalanan dan berbagi di Instagramnya (@dylanaprialdo). Obrolan berakhir, Dylan pun kembali ke kesehariannya...
Salam,
Yola.
(Sumber Foto: Dokumen Pribadi Dylan)

You Might Also Like

0 Komentar