Apa Yang Kau Cari Ketika Melakukan Perjalanan? (Melipir Sejenak : Ubud)

10.56


Apa esensi dari melakukan perjalanan bagi kebanyakan orang? Mengunjungi tempat yang ramai didatangi oleh orang-orang, berfoto ria dengan tongkat narsis di spot yang instagram-able, mengunggah foto itu di sosial media, lalu pulang? Kadang-kadang pula, kita memutuskan pergi ke suatu tempat hanya karena melihat foto yang orang-orang unggah di instagram, namun, ketika sampai di tempat itu, merasa kecewa karena kenyataannya tak sebagus foto yang dilihat di Instagram, kita ditampar oleh realitas bahwa foto di Instagram telah banyak dimanipulasi dengan beberapa fitur aplikasi edit foto.

Apa yang kau cari ketika melakukan perjalanan?

Pertanyaan itu kerap mampir di pikiran saya sebelum melakukan perjalanan jauh. Pada awalnya, perjalanan adalah perihal merayakan hidup dan melipir sejenak dari rutinitas harian yang berulang. Seminggu yang lalu saya melakukan perjalanan ke Ubud. Satu malam sebelum berangkat, saya merasa ragu-ragu untuk berpergian saat tahun baru menjelang. Suasana akan menjadi bising, penginapan mahal, bunyi terompet hingga tengah malam, apalagi di Bali. Ketika ingin melakukan perjalanan, saya selalu membayangkan lebih banyak kejadian yang buruk, dibandingkan perasaan senang. Merasa takut untuk keluar dari zona nyaman yang sudah saya ciptakan di kosan, tapi juga merasa ingin keluar dan berlibur.


Akhirnya, sore itu, kami (saya dan pacar) meluncur ke stasiun untuk menuju ke Banyuwangi. Kami berencana untuk pergi ke Ubud, karena tahu bahwa Kuta akan ramai seperti pasar pagi saat merayakan tahun baru. Sebagai seorang yang tidak menyukai keramaian, tentunya saya memilih berlibur di tempat yang tenang dan nyaman. Memutuskan perjalanan ke Bali melalui jalur darat lebih menantang dibandingkan dengan naik pesawat. Meskipun akan merasakan duduk berjam-jam di kereta ekonomi dan berada di jalan lebih lama, tapi dengan begitu kita bisa singgah di berbagai kota untuk menikmati atmosfernya. Bayangkan saja, naik kereta menuju Banyuwangi, ada beberapa stasiun yang saya singgahi. Sebab, hidup adalah perjalanan untuk singgah dari satu tempat ke tempat yang lain, bukan?

Perjalanan saya ke Ubud adalah salah satu tempat singgah sebelum sepasang kaki saya tak bisa lagi diajak berjalan jauh. Melakukan perjalanan di suatu kota yang dikunjungi adalah untuk mengamati adat dan budayanya. Itu lebih menarik dibandingkan jika hanya selfie di setiap tempat. Ketika sampai di Ubud, berbagai kafe dan restoran mewah berjejeran di sepanjang jalan Monkey Forest. Sebagian besar pengunjungnya adalah para turis asing yang datang dari berbagai negara. Bahkan di sepanjang jalur pejalan kaki, lebih banyak turis asing yang berlalu-lalang. Saya senang bermain sebagai turis di kota yang sedang saya kunjungi, namun di saat yang bersamaan, saya merasa asing di negara saya sendiri. Saya kerap berpikir, apa yang sebenarnya para turis asing ini cari di Ubud, selain bersenang-senang? Apakah mereka datang ke Ubud karena nilai tukar rupiah yang tinggi bagi mereka? Entahlah. Mungkin jika berkunjung ke Ubud lagi, saya ingin mewawancarai beberapa turis asing.


Kafe dan restoran mewah yang berjamuran di Ubud tak membuat saya ingin membunuh waktu di dalamnya. Saya lebih memilih berjalan kaki menyusuri sepanjang jalan Monkey Forest - Hanoman, melihat rumah-rumah khas Ubud dengan patung dan sesajen di depan pintu, serta aroma dupa yang menguar. Mistis dan penuh magis. Perihal itulah yang membuat saya belajar untuk memahami perbedaan kepercayaan di kota yang saya kunjungi. Selain itu, ada Pasar Seni Ubud yang berada di jalan Raya Ubud yang ternyata pada pagi hari pasar itu adalah pasar tradisional yang menjual kebutuhan sehari-hari. Saya mengunjungi Pasar Seni Ubud sebab ingin mengamati bagaimana sistem jual beli di Ubud. Sungguh menarik menonton penjual dan turis asing melakukan transaksi. Kadang-kadang, jika sudah tak memahami bahasa mereka, para penjual akan menyodorkan kalkulator yang tertera harga barang. Saya mampir di beberapa toko untuk sekadar melihat-lihat, kadang-kadang saya tak sadar bahwa saya mampir di toko yang baru buka dan ditawari untuk membeli satu barang untuk menjadi pelaris barang jualan mereka. Jika penjual menawarkan barang sebagai pelaris, maka mereka akan memberikan harga yang sangat murah dari harga normal. Sama seperti pasar lainnya, yang namanya pasar, tentu saja di dalamnya ada tawar-menawar, belajarlah ilmu tawar-menawar dari ibu yang senang berbelanja ke pasar. Hal-hal kecil seperti itu tak boleh luput dari pengamatan kita jika ingin mendapatkan barang dengan harga murah.


Melipir ke sawah Tegalalang untuk menikmati pemandangan yang hijau. Bukan melulu para turis asing yang berlalu-lalang dan keluar-masuk kafe. Entah kenapa yang berkunjung ke sawah Tegalalang ini kebanyakan adalah turis Jepang. Banyak kafe yang disuguhkan untuk menikmati pemandangan sawah Tegalalang, tapi sebagai pejalan dengan gaya backpaker, saya tak ingin menukar uang dengan secangkir kopi di kafe itu. Ada cara lain untuk menikmatinya gratis dan melihat lebih dekat sawah tersebut dengan trekking. Sawah Tegalalang ini adalah yang paling pertama saya lihat ketika searching di Google tentang Ubud.

Melakukan perjalanan juga belajar hidup berisiko. Perjalanan ke Ubud tak selalu ditempuh dengan mulus dan itu yang akan melatih kita untuk menahan ego agar tidak tumpah menjadi amarah yang meledak-ledak. Mungkin bagi mereka yang melihat foto-foto yang diunggah di instagram merasa bahwa perjalanan saya sepenuhnya menyenangkan. Namun, perjalanan menuju ke Ubud ditempuh dengan 8 jam duduk di kereta ekonomi menuju Banyuwangi, jalan kaki ke pelabuhan Ketapang untuk penyebrangan ke pelabuhan Gilimanuk, naik travel selama 3 jam untuk sampai Denpasar, menyewa motor untuk ke Ubud yang ditempuh selama 1 jam dari Denpasar, ban motor bocor di tengah perjalanan pulang, terancam tak bisa pulang karena semua travel sudah penuh dibooking. Akhirnya, memutuskan untuk memilih naik bus. Perjalanan membuat saya belajar untuk mengambil keputusan dengan cepat.


Jadi, apa yang kau cari ketika melakukan perjalanan?

Menonton manusia adalah tujuan utama saya memulai berjalan. Saya tidak ingin berpergian dan mengantongi ekspektasi yang tinggi dari tempat yang saya akan kunjungi. Sebab saya menyukai kejutan.

Semoga esensi dari melakukan perjalanan tahun 2016 ini tak sekadar datang, selfie, unggah di sosial media, lalu pulang. Bahkan melakukan perjalanan pun tak melulu jauh, berjalan ke kampus atau pun warung dekat kosan melatih kita untuk mengamati dan memahami.

Salam,
Zahra

(Sumber Foto: Dokumen Pribadi Zahra)

You Might Also Like

0 Komentar