The Giving Tree: Belajar Untuk Tidak Menjadi Egois

17.34



"Once there was a tree...and she loved a little boy."

Beberapa minggu lalu saya menemukan buku The Giving Tree karya Shel Silverstein yang tersedia dalam versi digital dan dapat dibagikan lewat Slideshare. Saya membaca buku tersebut pelan-pelan sambil menyaring kata-kata sederhana nan singkat yang ada dalam lembar per lembarnya. Buku tersebut juga disertai oleh ilustrasi yang membuat The Giving Tree seakan menjadi semacam buku dongeng anak-anak. Padahal tidak. Buku ini tidak hanya dibaca oleh anak-anak saja.  Lebih tepatnya tidak boleh. Karena buku ini sangat wajib dibaca oleh semua orang di seluruh dunia. Buku yang terbit aslinya pada tahun 1964 ini menceritakan tentang sebuah pohon yang mencintai seorang anak laki-laki kecil lalu mereka tumbuh bersama. Baik pohon dan anak laki-laki itu menua, cinta sang pohon terhadap si anak laki-laki itu teramat tulus hingga tanpa disadari sang pohon memberikan seluruh dirinya pada si anak laki-laki. Namun, si anak laki-laki tidak menyadari cinta sang pohon sehingga ia terus-terusan meminta dan hanya peduli pada hidupnya sendiri.

Selama 50 tahun buku ini menjadi salah satu literatur yang tidak pernah absen mejeng di rak buku anak, menjadi salah satu pilihan tepat untuk dijadikan kado, dan dijadikan salah satu kisah yang selalu diceritakan oleh para guru di sekolah dasar (tentunya tidak di Indonesia). Menurut perspektif lain, menurut saya pula buku ini adalah salah satu tulisan kecil yang dibungkus dengan menyentuh dunia anak sebagai sarkasme bagi orang dewasa.


Shel Silverstein berhasil membuat saya meringis sebentar setelah membaca buku ini. Kemudian saya bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya adalah orang yang egois bagi orang-orang di dekat saya?”, “Apakah saya tidak menyadarinya?”. Sang pohon terus memberi, memberi, dan memberi. Tanpa mengharap kembali. Seperti lagu kasih Ibu. Ah iya, Ibu... Sering sekali mendengar kata-kata bahwa seiring bertambahnya umur, kita semakin tak sadar bahwa orang tua kita pun menua. Apalagi saya dan teman-teman yang merantau.

Pengorbanan.

10 menit, hanya 10 menit buku ini selesai saya baca. Namun hal itu adalah sebuah pertanda bahwa saya memang seorang dewasa dan memegang posisi sebagai orang ketiga yang tidak terlibat sama sekali dalam kisah ini. Saya memutuskan kembali membaca dari awal. Ada banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil dari buku ini. Kita bisa menganalogikan sang pohon dengan siapapun, tergantung siapa dan apa yang paling mendominasi kehidupan kita selama ini. Kita juga bisa menganalogikan si anak laki-laki dengan diri kita sendiri. Namun satu yang menyatukan seluruh analogi dari semua orang terhadap sang pohon. Pengorbanan.


But time went by
And the boy grew older
And the tree was often alone

Saya sempat membaca tulisan Whitney Collins di dalam sebuah website. Bahwa setidaknya, ada 10 hal yang dapat kita ambil sebagai pelajaran dari The Living Tree. Saya hanya akan membahas tiga hal saja, dan tiga hal ini akan menjadi pemberhentian sejenak dari ‘keegoisan’ kita. Pertama, berjalan dengan kaki telanjang. High heels yang melelahkan namun mau tidak mau harus digunakan dalam acara formal adalah salah satu contoh. Jika diperhatikan, si anak laki-laki selalu tidak memakai alas kaki, berlari dan bermain-main dengan bebas. Hingga kehidupan dewasa yang penuh tuntutan dan materi memaksanya memakai sepatu. Kedua, tolong dan terima kasih. Si anak tidak pernah mengucapkan tolong saat membutuhkan sesuatu dan tak pernah mengucapkan terima kasih saat sang pohon memberikan ‘dirinya’ pada si anak. Ketiga, cukup ada disana. Hingga akhirnya sang pohon tua tak punya apa-apa lagi untuk diberikan pada si anak laki-laki (yang telah menua pula) tersebut, ia hanya berdiri menemani. Cukup dengan ada disana.

Tapi.

Satu hal yang benar-benar saya ambil menjadi pelajaran bagi diri sendiri lewat buku ini; mencoba untuk tidak menjadi seperti si anak laki-laki.

Salam,
Febi.

(Teman-teman bisa membaca The Giving Tree disini)

You Might Also Like

0 Komentar