Tyas Effendi: Saya Menulis Untuk Berbagi Pemikiran
18.38
Di usia yang
masih muda, ia telah menulis lima novel. Kelima buku tersebut diterbitkan oleh
salah dua penerbit mayor yang ada di Indonesia. Sulistyaningtyas dengan nama pena
Tyas Effendi memulai menyukai menulis sejak duduk di bangku SMP dan menerbitkan
buku pertamanya dengan judul Izinkan Aku Bersujud pada tahun 2009. Kesenangannya
berbagi cerita lewat tulisan membawanya menorehkan prestasi sampai ke negeri
Jiran. Siapa yang menyangka bahwa setahun kemudian, buku pertamanya itu dilirik
oleh penerbit di Malaysia.
Yuk simak
obrolan Zahra bersama penulis perempuan asal Malang berikut ini.
Halo,
Tyas, bisa deskripsikan tentang siapa Tyas Effendi kepada pembaca Saturday Corner
dan apa rutinitasnya sehari-hari?
Halo,
Zahra. Saya seorang penulis asal Malang. Baru lulus dari Sastra Inggris UB
tahun kemarin dan sekarang kerja di sebuah perusahaan di Malang. Di MNC Play
Media, salah satu perusahaan penyedia jasa internet dan tv kabel.
Apa
sih makna passion bagi Tyas?
Ceritakan
dong, bagaimana awalnya Tyas menyukai menulis?
Dulu
sih, sejak SMP saya sama temen-temen suka pinjem buku di perpustakaan sekolah
sama perpustakaan di samping sekolah. Terus, keinginan untuk menulis itu tumbuh
dari kegemaran membaca. Tapi, waktu SMP itu tulisan saya masih belum bagus.
Memang masih proses belajar juga.
Baru
waktu masuk SMA, saya mulai menemukan genre tulisan saya. Didukung dengan
motivasi dari guru bahasa indonesia, akhirnya semakin semangat menulis, deh. Begitu.
Adakah
ritual yang Tyas lakukan ketika menggali ide untuk menulis?
Kalau
saya sih biasanya dapat ide dan inspirasi buat menulis dari imajinasi,
pengalaman, dan ilmu. Jadi, nggak ada ritual tertentu buat cari ide, sih. Ide tulisan biasanya muncul begitu aja sewaktu
saya dapat ilmu misal dari baca, dengar cerita pengalaman pribadi temen, atau
misal mengimajinasikan itu sendiri.
(Tyas Effendi bersama Windry
Ramadhina)
|
Adakah
penulis yang menginspirasi Tyas untuk terus menulis?
Iya,
ada dong. Saya suka baca tulisan Andrea Hirata, Windry Ramadhina, Haruki
Murakami, sama Ayu Utami.
Seberapa
besar pengaruh mereka terhadap karya-karya Tyas?
Dari
Windry saya belajar tentang genre adult romance yang nggak cuma bicara soal cinta.
Kalau Haruki Murakami, saya suka pemikiran-pemikirannya yang kritis. Semua
penulis itu bikin saya selalu ingin menulis sesuatu yang bermanfaat buat orang
lain.
Dari
beberapa penulis yang disebutkan Tyas punya gaya bercerita yang berbeda dan
khasnya masing-masing, ya. Oh
ya, mengapa Tyas memilih menjadi seorang penulis?
Iya,
saya suka baca macam-macam tulisan dengan gaya yang beragam juga. Tapi untuk
style atau gaya bercerita saya sendiri, tentunya beda dari semua penulis
favorit itu. Saya
senang berbagi pemikiran sama orang lain. Apalagi kalau tulisan saya bisa
memberikan manfaat ataupun pencerahan buat orang lain. Karena itu saya memilih
menulis sebagai cara saya berbagi cerita dengan pembaca.
Tyas
telah menulis 5 novel, kan? Novel dengan judul Izinkan Aku Bersujud, Catatan
Musim, Life After You, Dance For Two, dan Tentang Waktu. Dari kelima novel itu,
novel yang mana yang proses penulisannya paling berkesan buat Tyas?
Iya
benar, ada 5 itu. Sebenarnya semua berkesan sih. Susah kalau harus milih. Tapi
mungkin yang paling berkesan ketika proses pengerjaannya sih yang Tentang
Waktu.
Bisa
diceritakan apa yang berkesan dari proses penulisan Tentang Waktu?
Di
novel ini saya mencoba menulis dengan genre baru, time traveler. Jadi, saya
harus mengumpulkan lebih banyak referensi, belajar banyak tentang perjalanan
lintas waktu, dan juga menyajikan cerita tentang perang dengan lebih ringan dan
mudah diterima pembaca. Selain itu, deadline penulisan novel ini dari editor
saya juga bertepatan dengan masa-masa sibuk di kampus. Jadi, saya harus bagi
banyak waktu antara menyelesaikan novel, garap skripsi, dan kesibukan di
lembaga pers.
Waah!
keren banget bisa fokus menyelesaikan semuanya. Aku jadi penasaran dengan
novelnya. Belum baca. Hehe. Oh
ya, apa yang membuat Tyas terus menulis selain berbagi cerita dengan pembaca?
Hahaa. Sebenernya itu susah sih emang. Cuman memang butuh konsistensi biar bisa fokus
menyelesaikan semua urusan itu satu persatu. Motivasi
utama saya memang yang tadi itu ya, berbagi pemikiran dengan pembaca. Kalau
motivasi menulis yang lain itu datang dari pembaca. Pertanyaan-pertanyaan
pembaca 'kapan buku berikutnya terbit', itu yang bikin saya selalu semangat
menulis. Selain itu, bagi saya menulis itu adalah sebuah proses instrospeksi
dan kontemplasi. Dengan menulis, saya bisa mengenal diri saya lebih dalam. Karena
itu saya terus menulis.
Awalnya
menulis adalah hobi kemudian ternyata menghasilkan uang. Apakah ketika Tyas
menyadari menulis menghasilkan uang, maka itu mempengaruhi kualitas tulisan Tyas?
Kalau
buat saya, yang lebih mempengaruhi tulisan itu sebenarnya penerbit. Penerbit di
Indonesia (terutama karena saya tidak menerbitkan di penerbit indie),
kebanyakan money-oriented. Mereka lebih mementingkan pasar daripada karya yang
ditulis penulis itu sendiri. Jadi, berdasarkan pengalaman saya, banyak
bagian-bagian dalam tulisan serta idealisme yang dengan terpaksa harus diganti
dengan yang lebih sesuai dengan pasar.
Misal
yang paling sederhana, pemilihan judul harus yang lebih ringan dan menarik
pasar. Walaupun begitu, saya sih nggak melepaskan idealisme begitu saja. Saya
tetap berusaha mempertahankan idealisme, cuman butuh diakalin aja. Contohnya,
jenis tulisan yang saya suka, konflik sosial dan perang, tetap bisa diterbitkan
meski harus dibubuhi sedikit kepentingan penerbit.
Oh
jadi begitu, ya. Kadang-kadang, beberapa penulis yang bukunya terbit di
penerbit yang bukan indie, kualitas tulisannya jadi biasa aja, kak. Bagi saya,
konflik serta alur cerita yang dihadirkan dalam sebuah buku jadi terkesan klise
dan sudah banyak di pasaran. Bener
juga, penulis harus pintar mengolah ceritanya, supaya tetap diterima. Tyas,
tahun 2016 ini sudah membaca berapa buku dan buku apa saja itu?
Iya,
bener sekali itu. Saya
termasuk pembaca yang lambat karena paling susah cari waktu buat membaca. Tahun
kemarin saya cuman menargetkan baca 7 buku setahun, dan itu berhasil (emang
dikit banget sih targetnya. Kalau tahun ini saya ada target 14 buku setahun.
Sejauh ini baru baca separuh The Wind-Up Bird Chronicle dan separuh Norwegian
Wood.
Pernah
ngga sih Tyas merasa jenuh menulis? Adakah kegiatan lain yang Tyas lakukan jika
sedang jenuh menulis?
Pernah,
tapi itu jarang banget sih. Kadang jenuh itu cuman terjadi kalau lagi nggak ada
proyek tulisan yang saya suka. Gitu. Sedangkan
kalau stuck menulis, nggak tau harus nulis apa lagi, itu mungkin lebih sering
terjadi. Biasanya, saya baca lagi tulisan yang lagi saya tulis itu dari awal.
Atau, saya cari-cari referensi lagi. Kalau tetap stuck, saya coba meninggalkan
tulisan itu bentar. Saya cari hiburan lain, baru kalau pikiran udah fresh, saya
lanjutin lagi. Yang terpenting juga, saya harus menciptakan suasana menulis
yang nyaman, yang bisa bikin tulisan mengalir. Begitu.
Beberapa
orang ingin jadi penulis, tetapi kadang-kadang bingung memulainya, bingung
ingin menulis apa, bagaimana menurut Tyas?
Iya,
itu memang sudah sering terjadi ya. Kalau
menurut saya begini, ketika kita mau memulai menulis, tentukan dulu tujuan
menulis itu sendiri. Apa mau dipublikasikan atau untuk pribadi. Nah, kalau
tulisan itu mau dipublikasikan, tentunya ada rules yang harus harus diikuti. Kemudian,
tentukan apa yang mau ditulis. Apakah cerpen, puisi, novel, esai, atau apa. Nah,
dari sana nanti, kalau tulisan itu memang berniat untuk diterbitkan, kita bisa
menargetkan penerbit atau media yang cocok. Kalau mau memulai menulis, langkah
yang paling mudahnya seperti itu.
Hmm,
begitu ya. Oh
ya, apakah pekerjaan Tyas sekarang sesuai dengan passion Tyas? Mengapa Tyas
tidak ingin jadi full time writer
saja?
I
can say: not at all. Saya
kerja sebagai admin. Dan itu juga tidak ada hubungannya sama jurusan
perkuliahan. Tapi menurut saya nggak masalah sih, justru dari pekerjaan yang
nggak ada sangkut pautnya sama bahasa sama sekali itu, saya bisa belajar hal
baru yang belum pernah saya tahu. Kalau saya pribadi memang tidak mau
menjadikan menulis itu sebagai pekerjaan. Saya menulis cuma untuk memenuhi
keinginan berbagi aja sama pembaca. Jadi, saya lebih memilih menjalani
pekerjaan tertentu dan menjadikan menulis cuma hiburan aja. Sedangkan royalti
yang saya dapat dari menulis itu cuma sekadar reward aja buat kerja keras saya.
Adakah
project menulis novel yang ingin diterbitkan tahun ini? Atau ada project lain?
Iya,
sebenarnya saya lagi garap novel religi, pengembangan dari cerpen yang dulu
saya tulis sama seorang rekan. Memasuki dunia kerja ternyata lebih susah cari
waktu luang. Novelnya juga baru masuk bagian opening, tapi saya tetap berusaha
bisa konsisten menulis.
Dan
untuk menutup obrolan kali ini, sesuai dengan judul blog Saturday Corner, aku
ingin tahu, bagi Tyas, apa makna hari Sabtu dan apa biasanya kegiatan Tyas di
hari Sabtu?
Hmmm
hari Sabtu itu jujur, hari yang dulu sering saya tunggu-tunggu. Terutama sabtu
sore. Soalnya besoknya Minggu, bebas, jadi paling suka tiap memasuki sabtu
sore. Sabtu itu bisa jadi hari yang santai buat sebagian orang. Dan di hari
itu, sebaiknya orang-orang memanfaatkan buat mengisinya dengan melakukan
hal-hal yang menyenangkan sekaligus bermanfaat. Cuman, ketika memasuki dunia
kerja ini sih saya weekend masuk kerja. Jadi, sabtu serasa kayak hari aktif.
Menulis lima buku yang diterbitkan oleh penerbit mayor dalam kurun
waktu 7 tahun adalah pencapaian yang luar biasa. Di tengah kesibukannya
menyelesaikan studi S1 Sastra Inggris dan dalam lembaga Pers, Tyas mampu
merampungkan novel berjudul Tentang Waktu yang diterbitkan pada tahun 2015.
Novel yang merupakan seri Time Traveler membuatnya belajar banyak tentang
perjalanan lintas waktu dan mengemas cerita konflik peperangan dengan
sederhana. Saat ini, perempuan yang menyukai pemikiran kritis dari karya-karya
karya Haruki Murakami ini sedang menggarap novel religi dan memiliki target
membaca 14 buku dalam setahun. Meskipun bekerja tidak sesuai passionnya, ia pun
merasa tetap bisa belajar hal baru. Karena tujuan awalnya menulis adalah untuk
berbagi, maka ia terus menulis. Mungkin akan berbeda jika Tyas memilih menulis
sebagai profesi. Sebab banyak juga yang memilih menjadi full time writers dan
menulis karena mengikuti pasar. Jadi, tidak lagi mempertahankan idealismenya
dan kualitas tulisannya biasa saja, serta tema cerita yang diangkat menjadi
begitu mainstream.
Oh
ya, kalian bisa menyapa Tyas Effendi di instagramnya @tyaseffendi dan membaca
kata-kata yang menari dari Tyas disini.
Selamat
merayakan akhir pekan, teman-teman!
Salam,
Zahra
(Sumber Foto: Dokumen
Pribadi Tyas Effendi dan Google)
0 Komentar