Mengintip Realitas Sosial di Korea Selatan Lewat “If You Were Me”

10.35

Ulasan film, buku, dan hal-hal lain yang ada setiap minggu di Saturday Corner tidak akan berbentuk penjabaran yang menghubungkan mereka dengan filsafah, ilmu ataupun konteks-konteks tertentu ala para pengulas film yang cerdas, karena sungguh keinginan awal menyertakan konten ulasan hanya untuk bersenang-senang mengapresiasi secara singkat dan sederhana. Semoga ulasan yang ada setiap minggunya adalah ulasan yang bersahabat dengan siapa pun serta minim spoiler (kadang karena terlalu menyukai sesuatu kita tidak tahan untuk tidak memamerkannya ke orang lain, kan?). Usaha untuk belajar dalam mengulas secara layak pastilah ada. Doakan agar ulasan Saturday Corner terus berkembang, ya!


Saturday Corner minggu perdana ini akan mengulas sebuah film produksi Korea Selatan pada tahun 2003 berjudul If You Were Me. Film ini digagas oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Korea dan disutradarai oleh enam sutradara yang dibebaskan baik dari cerita dan budget dalam membuat interpretasi mereka masing-masing berdasarkan isu sosial, khususnya sikap diskriminasi masyarakat di negara yang kita ketahui sebagai negara dengan tingkat plastic surgery tertinggi di dunia ini. Maka, jadilah If You Were Me, sebuah film omnibus berisi enam ide cerita dengan gaya tutur sutradaranya masing-masing.


Crossing

Bercerita mengenai seorang pria lumpuh yang berjalan terpincang-pincang saat menyebrang jalan Sejongno, di pusat kota Seoul. Cerita ini menurut saya merupakan salah satu gambaran ketidakadilan akan ketersediaan fasilitas umum terhadap orang-orang difabel seperti adanya jalur pedestrian dan lift khusus bagi mereka.

“Aku ingin memberi kesempatan di mana penonton dapat berpikir untuk menjadi orang lain itu dan membiarkannya hidup dalam diri mereka.”
-YEO Gyun-dong, Sutradara Crossing
The Man With Affair
 

Bercerita mengenai seorang pria pedofil, mantan kriminal seks yang dijauhi oleh tetangganya. Saya suka ide cerita yang muncul secara unik dalam film ini, ketika seorang anak laki-laki tidak diperbolehkan masuk rumah oleh ibunya dengan keadaan tanpa celana karena kerap mengompol. Ia tidak boleh masuk rumah sebelum mengumpulkan semangkuk penuh garam dari tetangganya yang tidak acuh sama sekali. Bagaimana pada akhirnya ia mau tidak mau meminta garam pada satu-satunya tetangga yang tersisa, pilihan terakhir untuk memenuhi mangkuknya dengan garam yaitu dari pria tersebut. Yang tak lain merupakan pria pedofil, mantan kriminal seks yang tidak diacuhkan oleh tetangga-tetangganya. 

“Ketika hak asasi manusia melindungi bahkan hak-hak yang harus didapat namun diabaikan, saat itulah masyarakat dapat dianggap benar-benar beradab."
-JUNG Jae-eun, Sutradara The Man With Affair

The Weight of Her

 
Bercerita mengenai siswi SMA yang harus berjuang untuk mendapatkan pekerjaan karena penampilan fisik yang tidak menarik, di mana para pelamar kerja di Korea dinilai berdasarkan penampilan fisik mereka ditengah obsesi masyarakatnya akan penampilan. Hal ini memaksa mereka untuk melakukan operasi plastik bahkan diet habis-habisan. Saya gemas sekaligus kasihan melihat nasib tokoh utama dalam cerita ini, gadis bertubuh gemuk ini seakan terjebak dalam lingkaran setan yang dibuat oleh masyarakat. Ia sangat ingin melakukan operasi plastik untuk mendapatkan double eyelid (kelopak mata ganda) namun ibunya tidak mengizinkan karna biaya, akhirnya ia pun mencoba mencari pekerjaan paruh waktu, namun karena penampilannya, bahkan untuk mendapatkan pekerjaan paruh waktu di supermarket saja ia harus kalah dari seorang perempuan cantik bertubuh ramping dan memiliki kelopak mata ganda yang datang sesaat setelahnya.

“Jika kamu memiliki standar sendiri dalam menilai penampilan orang lain, maka standar-standar itu tidak akan berubah. Aku ingin menanamkan sedikit kepercayaan diri bagi anak-anak sekarang yang memiliki tingkat kepercayaan diri rendah.”
-IM Soon-rae, Sutradara The Weight of Her
Tongue Tie

Bercerita mengenai para orang tua di Korea yang memiliki tindakan di luar batas demi pendidikan anaknya. Seorang ibu yang membawa anak laki-lakinya operasi lidah agar fasih berbicara berbahasa Inggris. Saat sang anak berteriak di meja operasi dan sang ibu berkata “Ini demi masa depannya,” mengingatkan saya akan fenomena sederhana yang tidak seekstrim dalam cerita ini, yaitu orang tua yang memaksa anaknya agar terus berada di peringkat 10 besar. Wonder how much pressure they got?

“Dengan alasan demi anak-anaknya, mereka  melakukan tindakan yang tidak masuk akal. Aku mengajak penonton untuk membuka lebar-lebar mata mereka dan menonton film ini hingga akhir. Pelanggaran terbesar dari Hak Asasi Manusia adalah arogannya para orang tua dalam menentukan hidup anak-anaknya.”
-PARK Jin-pyo, Sutradara Tongue Tie

N.E.P.A.L: Never Ending Peace and Love

Seorang wanita yang berasal dari Nepal bernama Chandra menghabiskan hidupnya selama 6 tahun di rumah sakit jiwa sebab dikira gila oleh sekelilingnya hanya karena ia tidak bisa bicara dengan bahasa Korea. Cerita ini mempertanyakan Hak Asasi Manusia di Korea terhadap para pekerja asing.


“Aku tidak fokus pada cerita dari satu orang tertentu. Aku ingin menggambarkan ketidakpedulian dan ketidakmampuan dari banyak orang lain dan penderitaan yang diakibatkannya.” 
-PARK Chan-wook, Sutradara N.E.P.A.L

Face Value

Dari keseluruhan cerita yang ada di If You Were Me, Face Value merupakan cerita yang paling saya sukai. Bercerita mengenai seorang pria yang baru terbangun di mobilnya setelah mabuk. Ia kemudian bertengkar dengan seorang gadis yang bekerja di area parkir tersebut. Menyaksikan interaksi antara kedua karakter dalam cerita ini menyadarkan saya akan perlakuan kita terhadap para pekerja pelayanan umum yang secara tidak sadar kita sepelekan karena terlihat tidak penting.
Seperti, kadang seenaknya berjalan di bagian lantai yang sedang dipel oleh cleaning service sebuah mall, atau menancap gas saat alarm perlintasan rel kereta api gang kecil berbunyi bahkan saat palang pengaman tengah berjalan, coba bayangkan betapa kita menyepelekan tugas penjaga palang kereta yang telah berusaha melaksanakan tugasnya mengamankan pelintas namun diabaikan hanya karena daerah perlintasan gang kecil tidak sebesar jalan raya.

"Seperti karakter utama yang kerap mengemudikan mobilnya berputar-putar di tempat, agaknya kita seperti mobil tersebut yang ban-nya berputar-putar secara sia-sia dalam prasangka kehidupan kita?”
-PARK Kwang-soo, Sutradara Face Value
Selain ide ceritanya yang cerdas dan inovatif, kebanyakan drama maupun film Korea bagi saya secara konstan meninabobokkan saya dengan fashion-nya yang gorgeous, menciptakan negeri dongeng dalam kepala, serta aktor-aktornya yang selalu membuat pertanyaan dalam kepala saya: “Are they even real?” Saya terpaksa masuk ke dalam dunia yang diciptakan dan ingin hidup di sana. Saya kadang membandingkan diri dengan penampilan fisik si female lead bagai membandingkan kucing kampung dan kucing anggora, sungguh rasanya ingin menjadi seperti mereka. Tapi, menonton If You Were Me seperti menonton hidup yang sebenarnya, berbanding entah berapa derajat dari drama mau pun film Korea yang selama ini saya tonton. Film ini membiarkan saya dengan pelan-pelan masuk dalam dunia yang diciptakan oleh keenam sutradara tersebut tanpa terpaksa. Dunia berbentuk kenyataan hidup di Korea Selatan yang penuh dengan diskriminasi. Mungkin, film seperti If You Were Me ini harus lebih banyak lagi dibuat supaya perempuan-perempuan penikmat kebanyakan drama atau film Korea yang meninabobokkan seperti saya punya waktu untuk ‘bangun’, mandi, dan beraktivitas dengan semangat, untuk kemudian tidur lagi.
Salam,
Yola.

You Might Also Like

0 Komentar