Kehadiran dengan Caranya Sendiri
11.25
Tulisan
ini saya buat setelah kemarin salah seorang sahabat saya berulang tahun. Sejak
kuliah di Malang dan sahabat saya tetap tinggal di kampung halaman kami, Medan.
Saya dan dia sangat jarang mengobrol langsung lewat telepon atau pun Skype,
hanya lewat Line dan SMS. Setiap ulang tahun pun tidak bisa saling memberi
apa-apa, beberapa ucapan lewat video dan beberapa lagi telepon. Kado adalah sesuatu
yang selalu datang menyusul tiap pulang kerumah atau tertunda waktu pengiriman paket
pos.
Walau
jauh, kami seakan sama-sama sepakat untuk menjadi rumah dengan pintu yang selalu
terbuka bagi masing-masing kapanpun itu. Entah salah satu dari kami hanya sekedar
duduk di beranda dan yang lainnya tetap melanjutkan pekerjaan di dalam rumah sambil
sesekali menengok keluar, menyediakan teh hangat dan membiarkannya merenung di
beranda. Kami akan menjadi pendukung pada setiap kabar yang bertukar tanpa kata-kata,
kejenuhan, kegelisahan dan cerita-cerita masa lalu yang terlewat.
Sungguh
sahabat saya ini sangat sering sakit tapi dia nggak pernah gagal bikin saya ngakak saat kami saling berkirim pesan padahal
saat itu mungkin ia mengetik dengan jarum infus yang sedang menempel di
tangannya, sedangkan saya sedang terpuruk kelelahan mengurus sebuah event mata kuliah. Dia nggak pernah bilang
kalau dia sedang sakit tapi saya akan tahu sendiri, entah bagaimana pun
caranya. Saya tahu ketika menyadari dia yang jarang update Instagram atau mungkin malah karena dia menulis sesuatu kalau
dia sedang sakit atau karena kami memiliki circle
pertemanan yang sama, saya jadi tahu dari teman-teman lain yang
menjenguknya. Mungkin terdengar absurd dan
ignorance sekali, tapi bagaimanapun kondisinya,
saya melakukan satu hal;
Memperhatikan.
Memperhatikan
dengan cara saya sendiri, memperhatikan dalam diam. Saya tidak menyerangnya
dengan pertanyaan bertubi-tubi atau dengan ucapan cepat sembuh berulang kali.
Cukup mengetahui dia masih mampu membalas pesan saya atas keadaannya saat itu
dan menyuruhnya banyak makan dan istirahat. Itu saja. Selebihnya, sehabis
beribadah saya menyelipkan sebaris doa untuk kesembuhannya. Mungkin terdengar
menyombongkan diri, namun saya menyadari selama ini bahwa saya menganggap
mendoakan teman yang sakit adalah kata-kata sepintas lalu; “Semoga cepat sembuh ya”. Setelah itu sudah. Tidak pernah benar-benar terpikir untuk
meluangkan sebaris doa, memejam sejenak dan memohon pada Tuhan akan kesembuhan
seorang teman. Hal yang sederhana namun suatu saat ketulusan dan dampaknya ini
mungkin tidak akan pernah bisa kita bayangkan akan menjadi sebuah kabar baik.
Bagi diri sendiri, ia yang kita doakan dan bagi semesta.
Saat
saya sedang benar-benar terpuruk, saya cuma mengirim pesan singkat padanya dan
mengatakan bahwa saya akan menceritakannya saat pulang nanti. Dia paham dan
mengirimkan pertanyaan singkat;
Cukup
menohok dan membuat saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya benar-benar terpuruk?
Atau saya hanya berlebihan saja? Saya baik-baik saja tidak?
Dia
tidak memberi petuah panjang lebar, tidak menyalahkan siapa-siapa, tidak mengatakan
pada saya untuk bersabar dan segala macamnya. Saya seakan disuruhnya merenung sendiri
dan menangis sejadi-jadinya kalau perlu. Sudah itu saja. Life will go on. Saya juga nggak bisa terus-terusan bersedih. Toh ketika saat kepulangan saya tiba,
kami bertemu, dan saya menceritakan padanya kejadian yang saat itu membuat saya
‘merasa’ terpuruk, saya malah tertawa-tawa bersamanya dan bercerita dengan entengnya
tanpa rasa sesak seperti saat itu. Ada kedewasaan yang tercipta dalam persahabatan
kami untuk tidak saling menuntut kehadiran.
Sahabat
saya ini adalah salah satu orang yang bikin saya bisa menjawab pertanyaan apa itu
sahabat, saudara, kawan, apapun itu namanya dengan tepat. Terpisah pulau, punya
kesibukan masing-masing, nggak pernah bikin kami merasa asing, berhenti menjadi
pendukung dan rumah yang selalu terbuka. Walau tanpa kehadiran nyata seperti telepon
yang selalu berdering, pundak untuk bersandar, dan tepuk halus di punggung untuk
menenangkan. Namun, bersama waktu yang terus berjalan untuk saling memperhatikan
dengan cara masing-masing membuat kami tumbuh dan menjalani pendewasaan bersama
seperti itu.
“Sahabat adalah ia yang selalu ada saat
suka dan duka.”
Kami
mungkin tidak seperti kutipan persahabatan populer semacam itu. Justru masing-masing
dari kami akan hadir di waktu yang nggak terduga, tanpa diminta. Tapi karena itu
pula membuat saya tidak menggantungkan harapan pada persahabatan seperti kutipan
populer semacam tadi. Saya nggak akan menganggap dia nggak peduli terhadap saya
lagi kalaupun kami sangat jarang mengobrol, bercerita, teasing each other ataupun mengucapkan selamat atas segala pencapaian.
Ada
saatnya saya akan mencoba hadir secara utuh di waktu tertentu, tetapi saya pun
akan selalu ada, mungkin sedang duduk sendirian di kedai kopi, atau sedang melahap
mie pedas untuk melampiaskan kekesalan sehabis di php dosen, atau juga sedang mendengarkan satu album penuh The
Weepies sambil memakai masker. Namun di dalam pikiran saya selalu memperhatikan
dan menyertakan harapan terbaik untuknya. Begitu juga sebaliknya dengan sahabat
saya itu.
Hmmm,
teringat kembali oleh saya seorang sahabat lain yang sudah cukup lama tidak berkabar.
Beberapa waktu lalu ia menceritakan bahwa ia kini bekerja di sebuah kedai kopi
yang pernah kami datangi saat saya sedang liburan di kota tempat ia tinggal saat
ini. Saya berkata padanya bahwa saya sudah tahu. Setelahnya ia bertanya;
..........
Kehadiran
itu ada dengan caranya sendiri dan nggak banyak orang yang menyadarinya karena mungkin
kita terlalu banyak menuntut.
Salam,
0 Komentar