Senja di Jakarta
09.52
“The real reason why human life can
be so utterly exasperating and frustrating is not because there are facts
called death, pain, fear, or hunger. The madness of the thing is that when such
facts are present, we circle, buzz, writhe, and whirl, trying to get the “I”
out of the experience. We pretend that we are amoebas, and try to protect
ourselves from life by splitting in two. Sanity, wholeness, and integration lie
in the realization that we are not divided, that man and his present experience
are one, and that no separate “I” or mind can be found.”
- Alan Watts, 'The Wisdom of
Insecurity'
Entah
kenapa saat melewati pergantian sore ke malam bernama senja, Jakarta selalu
memberikan ruang untuk setiap kepala yang tinggal di dalamnya untuk merenung.
Benar nggak sih? Atau cuma saya aja sebagai pendatang yang sempat tinggal
sebentar dan berotasi bagai mesin di dalamnya yang berpikiran begitu?
Renungannya
juga aneh-aneh, awalnya merenung tentang pengalaman-pengalaman yang udah
dilewati semasa hidup. Semuanya berputar tiap senja di perjalanan pulang. Kanan
kiri kendaraan dipeluk gedung-gedung tinggi. Semuanya muncul satu per satu
berbentuk potongan gambar di dalam kepala bagai kaledioskop. Mulai dari
potongan gambar berupa pengalaman selalu gagal menjadi pengibar bendera sewaktu
SD dan berakhir dengan selalu menjadi pembaca UUD 45, pengalaman menguras
sisa-sisa kebanjiran semalaman lalu menemukan ikan lele di dalam rumah,
pengalaman ketiduran di atas buku-buku kumpulan soal SNMPTN dengan situasi
belum menunaikan sholat Isya lalu dimarahi Ibu, pengalaman kelewat senang untuk
pertama kalinya bisa melihat pantai walaupun pasirnya ‘butek’, pengalaman
sempit-sempitan di angkot setiap pulang sekolah membaur dengan berbagai bau
keringat yang ada di dalamnya, pengalaman menerima, memberi, kehilangan,
berbuat, bertransisi.
“The world doesn’t need more
‘successful people.’ The world desperately needs more peacemakers, healers,
restorers, storytellers and lovers of all kinds.”
- Dalai Lama
Pengalaman-pengalaman
ini yang berputar-putar di kepala sepanjang senja di Jakarta. Ujung-ujungnya
bakal bikin bertanya tentang kebahagiaan. Kebahagiaan yang dibutuhin semua
orang dengan kadar yang berbeda-beda. Didapat dengan cara yang berbeda-beda
juga. Semua potret itu nggak cuma ada di kepala saat menikmati senja di
Jakarta. Tapi benar-benar nyata adanya di depan mata. Menangkapnya juga nggak
susah, sedikit terdengar paradoks sih; cuma duduk diam dan memperhatikan di
dalam kendaraan yang lagi ditumpangi berjalan maju bersama deru riuh kendaraan
sekitar, mengeluarkan handphone dan menjepretnya dalam hening.
“Maafkan jalan di Jakarta…”
- Banda Neira, 'Senja di Jakarta'
Salam,
Yola.
(Sumber foto: Dokumentasi Pribadi
selama tinggal sementara di Jakarta, dengan peluh yang selalu jatuh baik itu
sebelum mandi maupun setelah mandi.)
1 Komentar
Alan Watts. Good book, actually (y)
BalasHapus