Belajar Itu...
18.59
Pendidikan
setinggi apa sih yang harus dikenyam seseorang untuk diakui bahwa dia
terpelajar? Yang menjamin nantinya dia bakal hidup enak? Nggak ada kan? Atau
lebih tepatnya nggak ada yang tau. Pendidikan nggak bisa dilabeli sebatas
menempuh SD, SMP, SMA, atau Universitas. Kita tau sendiri kalau pendidikan udah
berkembang. Bangku sekolah bukan lagi satu-satunya tempat dimana kita bisa mendapatkan
pelajaran. Mulai dari SD sampe SMA ataupun materi kuliah bisa diperoleh dengan
mudah di internet, bisa memberi kita kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan
dan kemampuan yang kita dapat diluar dari bangku sekolah. Simpelnya kita bisa
belajar cuma dengan ngeklik-ngeklik di layar laptop atau hp saja. Nyatanya,
hidup sehari-hari saja sudah menjadi sekolah itu sendiri, tanpa rangking,
ujian, atau persyaratan tertulis. Semuanya murni tentang kebahagiaan untuk
belajar selama kita hidup. Mengenai apapun.
Lani
Mariyanti salah satu Kakak Pengajar Sekolah Kita Rumpin pernah menulis di salah
satu artikelnya berjudul Tentang Mimpi, Rumpin, dan Paris. Menurutnya
pendidikan adalah kunci pengubah masa depan seseorang dengan merealisasikan
seluruh potensi yang ada di dalam dirinya yang kemudian akan memberikan
perubahan positif kepada lingkungan sekitar, bahkan negara. Saya mengamini
kata-katanya dengan menganggap bahwa pendidikan adalah keseharian. Mencari apa
yang mampu kita lakukan untuk diri sendiri maupun orang lain dalam rangka hidup
dalam kehidupan. Seluruh pertanyaan yang timbul dalam hati kita dan jawaban
dari berbagai sumber kehidupan, seluruh rentangan tangan kita akan penerimaan
terhadap rasa sakit pun senang, seluruh langkah yang kita ambil dalam sebuah
perjalanan, serta seluruh-seluruh lain yang datang setiap harinya. Keseharian
yang tidak akan pernah ada habisnya untuk dijamahi. Itulah pendidikan buat
saya. Telah tertanam sejak saya belajar membaca di umur lima tahun setiap
harinya di samping Ibu saya yang sedang menunaikan sholat Maghrib.
Lima
tahun yang lalu ada yang pernah bertanya ke saya, “5 tahun lagi kira-kira kamu seperti apa?” Saya ingat waktu itu
saya menjawab “Saya kepingin jadi orang
sukses”. Saat itu bahkan saya nggak tahu definisi sukses itu seperti apa.
Mungkin sebatas punya uang yang banyak. Saya berada di kondisi dimana saya
bingung dan berharap orang yang bertanya itu puas dengan jawaban yang saya
berikan. Saya ingin mendapatkan pengakuan, ingin diterima walau hanya dengan
berandai-andai akan mimpi lima tahun ke depan. Nyatanya sekarang, lima tahun
kemudian saya masih begini-begini aja, nggak jauh beda sama lima tahun lalu
selain tubuh yang semakin membesar. Padahal selama lima tahun itu saya udah
menyelesaikan masa SMK serta lulus di salah satu universitas yang saya pilih. Saya
sudah mendapatkan pendidikan di tingkat yang nggak main-main.
Terus
apa sih arti seseorang yang terpelajar itu sebenernya? Bagi saya adalah mengetahui
diri saya yang sekarang telah menjadi diri yang kesehariannya telah bertambah
selama lima tahun. Sesederhana itu. Saya nggak akan minder saat orang yang
bertanya pertanyaan lima tahun lalu itu bertemu dan melihat saya yang belum
menjadi apa-apa dalam definisi kesuksesan yang ada di pikirannya, karena selama
lima tahun ini kesuksesan dalam definisi saya telah menjelma menjadi pengakuan,
pemakluman dan penerimaan yang diberikan oleh diri saya sendiri. Karena belajar
kan selamanya adalah sebuah proses, ya? Saya nggak ingin mengakrabkan diri
dengan hasil akhir dalam menjalani keseharian. Karena ketika berpatok pada
hasil akhir, saat itu pula saya akan berhenti berkeseharian. Entah karena
depresi atau karna kelewat senang. Proses membuat kita terus berjalan, terus
ingin tahu dan mengembangkan diri. Untuk itu menjadi terpelajar nggak jauh beda dengan
menjalani keseharian. Ia ada dimana saja dan efeknya nggak kelihatan seperti
tubuh saya yang terlihat membesar selama lima tahun. Efeknya sesederhana
kalimat bahwa saya sudah belajar selama lima tahun dan akan terus. Karna toh
kalau misalnya kita sudah mendapatkan gelar sarjana bukan otomatis kita sudah
tidak mengenyam pendidikan untuk disebut menjadi orang terpelajar lagi kan?
Makanya ada namanya sekolah formal dan non formal. Mengutip kata-kata Sundea,
penulis zine online favorit saya bernama Salamatahari, “Dikarenakan mendidik butuh waktu dan kesabaran, makanya namanya
pendidikan bukan pendadakan.” Kira-kira begitu kata hidup jika ia tiba-tiba
disuruh berpetuah tentang perjalanannya yang tidak pernah berhenti mendidik
kita, manusia, untuk belajar asal kita sadar dan menjalaninya dengan senang
hati.
Belajar
lewat keseharian selama lima tahun ini membuat sebuah reformasi besar terhadap
perilaku saya yang nggak akan ada habisnya untuk terus berkembang, entah
berkembang menjadi lebih baik ataupun buruk. Tergantung pilihan dimana saya menjalaninya.
Saya menyerap berbagai macam perilaku di jalanan, di sudut-sudut meja yang ada
di hadapan saya saat berkumpul dengan teman-teman, di rumah, di buku-buku yang
saya baca, tingkah anak-anak kecil, di manapun. Saya menyerap berbagai
kepercayaan serta ketidakpercayaan, berbagai macam penilaian terhadap orang
lain, kesetiaan dengan alasan dan kadarnya masing-masing. Semua itu terdapat di
keseharian yang menurut saya punya cakupan yang luas. Seperti saya yang belajar
mengenal kemandirian di tahun 2011 saat kelas 2 SMK dimana untuk pertama
kalinya saya harus tinggal jauh dari orang tua selama satu bulan. Pelajaran itu
tidak tertulis di papan tulis ruang kelas dan harus tercatat di buku, tidak
dengan rumus-rumus tertentu, namun tertulis di keseharian yang musti saya baca,
sadari, serta tercatat di dalam pikiran agar saya tidak lupa seumur hidup.
Keseharian
mengharuskan kita berbuat sesuatu, sekecil apapun. Melangkahkan kaki untuk
sampai di tujuan kita, mungkin berjalan ke dapur karena kita lapar, entah itu
ke kamar karena kita ingin tidur, ataupun ke toilet karena kita ingin buang
air. Sesederhana itu pula pendidikan buat saya. Saya ingin terus berbuat
sesuatu dalam proses belajar. Terdapat sebuah prinsip bernama Prinsip Poetic di
dalam teori Appreciative Inquiry, yang menyatakan bahwa “Masa lalu, masa kini dan masa depan adalah sumber pembelajaran,
inspirasi atau interpretasi yang tidak berakhir, sebagaimana berbagai
kemungkinan interpretasi yang tak berakhir dari sebuah puisi yang indah.” Seperti
saya yang belajar mengenal hal bernama kekonsistenan dalam menulis di tahun
2012, saat saya terus-terusan menulis puisi. Saya sadar apa yang saya tulis
mungkin tidak layak disebut puisi namun saya terus saja sesuka hati menulis
kata demi kata untuk menuangkan apa yang ada di dalam perasaan saya. Entah itu
di sebuah tisu, karcis parkir, struk sehabis makan di KFC, dimana saja. Yang
saya tau saya suka menulis puisi, dan kekonsistenan itu membuat saya belajar
untuk menulis lebih baik lagi. Agar sewaktu-waktu ada yang datang ke saya dan
bilang kalau “Puisimu bagus,” atau, “Hmm puisimu kurang ini deh itu deh”. Saran atau kritik toh merupakan sebuah proses
yang tidak ada habisnya kan? Demi apapun saya senang sekali jika ada yang
berkata seperti itu, setidaknya tulisan saya dianggap sebagai puisi. Walau
belum sebagus Pak Sapardi.
Belajar
adalah keseharian. Memang terdengar hambar dan sulit untuk ditakar namun saya
percaya kalaupun saya adalah salah satu orang kurang beruntung yang tidak mampu
mengenyam pendidikan yang tinggi karena rintangan klise berupa biaya, saya
hanya harus merayakan keseharian. Dan saya yakin akan tetap hidup di dalam
kehidupan.
(Gambar-gambar
diambil di sudut-sudut keseharian yang terlihat sepele namun berbicara dengan
caranya sendiri di mata saya. Adalah keluarga kecil yang sedang menikmati
lampion-lampion, adalah seorang bocah yang sedang merenung entah apa di pinggir
danau sebuah desa yang belum terjamah namun memiliki kekayaan alam bernama
Sanankerto, adalah rombongan study tour yang sedang duduk bersama mendengarkan
sejarah di salah satu makam raja di Pulau Samosir, Danau Toba, Sumatera Utara.
Melalui potret-potret kecil keseharian semacam ini saya belajar. Tentang apa
saja.)
Salam,
Yola.
0 Komentar