Tokyo Story (1953): Cerminan Realitas Kehidupan
19.18
Saya sudah lupa film Jepang yang terakhir saya tonton.
Tapi ketika mengobrol bersama Rain Chudori yang menyebutkan Tokyo Story adalah salah
satu film yang dia tonton, setelahnya saya browsing
film tersebut. Ternyata Tokyo Story adalah karya besar yang disutradarai Yasujiro
Ozu dengan setting Jepang than 1953. Penasaran
dengan film klasik Jepang, Tokyo Story adalah film hitam-putih pertama yang
saya tonton tanpa merasa bosan.
Tokyo Story mengisahkan sepasang suami-istri yang
sudah tua Sukichi dan Tomi Hirayama yang tinggal di Onomichi Hiroshima bersama putri
bungsu mereka Kyoko, melakukan perjalanan ke Tokyo untuk mengunjungi anak-anak mereka,
Koichi dan Shige. Putra sulungnya Koichi adalah seorang dokter anak, hidup bersama
istri dan dua anak. Sementara Putri keduanya Shige bekerja dengan membuka salon
di rumahnya dan hidup bersama suaminya. Koichi pun Shige sibuk dengan rutinitas
masing-masing sehingga tak bisa menemani orangtua mereka dan meminta Noriko,
adik ipar nya untuk menemani. Noriko adalah janda dari putra ketiga Hirayama
yang meninggal dalam perang. Meskipun tidak ada hubungan darah, Noriko sebagai menantu
memperlakukan Sukichi dan Tomi Hirayama dengan kebaikan dan penuh kehangatan layaknya
seorang anak menghormati orangtua kandungnya.
Film berdurasi 136 menit ini menampilkan drama
keluarga dengan plot yang sederhana. Seperti apasih sebenarnya keluarga itu?
Bagaimana hubungan antara anak-anak dengan orangtua mereka setelah mereka dewasa
dan berkeluarga dengan dua zaman yang berbeda: tradisional dan modern? Bahwa setiap
orangtua peduli terhadap masa depan anak-anaknya, tetapi anak-anak yang telah beranjak
dewasa kerap kali ingin melepaskan diri dari keinginan orangtua sebab merasa tak
ingin membebani tanpa harus merasa bersalah dengan orangtua mereka.
Tokyo Story seperti dikemas sebagai film dokumenter
yang memotret hubungan orangtua dan anak secara realistis. Menampilkan kekhawatiran
orangtua terhadap anak-anak yang tidak sesuai harapan mereka, perubahan hubungan
antara orangtua dan anak sebab kesibukan masing-masing dan zaman yang terus berubah,
juga perpisahan dan kehilangan yang tidak bisa dihindari. Tidak hanya itu,
dalam film Tokyo Story juga menampilkan konsep Honne-Tatemae. Apa itu Honne-Tatemae?
Honne-Tatemae adalah salah satu pola pikir atau budaya masyarakat Jepang dalam keseharian
mereka. Honne adalah “suara atau perasaan sesungguhnya” dan Tatemae adalah “suara
atau wajah untuk publik” atau perasaan yang ditampilkan di depan orang banyak. Kadang
Tatemae cenderung berbohong sebab menutupi perasaan yang sesungguhnya. Seperti
Koichi dan Shige yang menyambut orangtuanya dengan ekspresi wajah senang, namun
sesungguhnya kedatangannya orangtuanya merupakan beban bagi mereka.
Dari awal sampai akhir, film ini berjalan dengan
tempo yang lambat. Tapi, tempo yang lambat justru memberi kekuatan dalam film
ini dengan kesan bahwa Sukichi danTomi Hirayama sebagai orangtua yang lahir di
zaman tradisional tak bisa mengikuti ritme kehidupan kota Tokyo di zaman
modern. Cerita yang disuguhkan dalam film ini sebenarnya mencerminkan keseharian
kita. Ozu sebagai sutradara memang pantas beranggapan bahwa film Tokyo Story
merupakan karya besarnya melalui kisah yang sederhana. Bahkan dengan tempo yang
lambat pun, film ini mampu membuat penonton merenung dan mengingat orangtua mereka.
Adegan favorit saya dalam film ini adalah ketika Sukichi
sedang minum-minum bersama dua teman lamanya sembari mengobrolkan perasaan kecewa
terhadap anak-anak yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Dengan dialog yang
sederhana tapi menyentak hati penonton, film ini highly recommended!
Salam,
Zahra.
0 Komentar